039. Azab dan Sengsara - Merari Siregar


Aminuddin adalah anak Baginda Diatas, seorang kepala kampong yang terkenal kedermawanan dan kekayaannya. Masyarakat disekitar Sipirok amat segan dan hormat kepada keluarga itu. 

Adapun Mariamin, yang masih punya ikatan dengan keluarga itu, kini tergolong anak miskin. Ayah Mariamin, Sutan Baringin almarhum, sebenarnya termasuk keluarga bangsawan kaya. Namun, karena semasa hidupnya terlalu boros dan serakah, ia akhirnya jatuh miskin dan meninggal dalam keadaan demikian.

Bagi Aminuddin, kemiskinan keluarga itu tidaklah menghalanginya untuk tetap bersahabat dengan Mariamin. Keduanya memang sudah berteman akrab sejak kecil dan terus meningkat hingga dewasa. Tanpa terasa benih cinta kedua remaja itu pun tumbuh subur. Belakangan, mereka sepakat untuk hidup bersama, membina rumah tangga. Aminuddin pun berjanji hendak mempersunting gadis itu jika kelak ia sudah bekerja. Janji pemuda itu akan segera dilaksanakan jika ia sudah mendapat pekerjaan di Medan. 

Aminuddin segera mengirim surat kepada kekasihnya bahwa ia akan segera membawa Mariamin ke Medan. Berita itu tentu saja amat menggembirakan hati Mariamin dan Ibunya yang memang selalu berharap agar kehidupannya segera berubah. Setidak-tidaknya, ia dapat melihat putrinya hidup bahagia.

Niat Aminuddin itu disampaikan pula kepada kedua orang tuanya. Ibunya sama sekali tidak berkeberatan. Bagaimanapun, almarhum ayah Mariamin masih kakak kandungnya sendiri. Maka, jika putranya kelak jadi kawin dengan Mariamin, perkawinan itu dapatlah dianggap sebagai salah satu usaha menolong keluarga miskin itu.

Namun, lain halnya pertimbangan Baginda Diatas, Ayah Aminuddin. Sebagai kepala kampung yang kaya dan disegani, ia ingin agar anaknya beristrikan orang yang sederajat. Menurutnya, putranya lebih pantas kawin dengan wanita dari keluarga kaya dan terhormat. Oleh karena itu, jika Aminuddin kawin dengan Mariamin, perkawinan itu sama halnya dengan merendahkan derajat dan martabat dirinya. Itulah sebabbya, Baginda Diatas bermaksud menggagalkan niat putranya.

Untuk tidak menyakiti hati istrinya, Baginda Diatas mengajaknya pergi ke seorang dukun untuk melihat bagaimana nasib anaknya jika kawin dengan Mariamin. Sebenarnya, itu hanya tipu daya Baginda Diatas. Sebab sebelumnya, dukun itu sudah mendapat pesan tertentu, yaitu memberi ramalan yang tidak menguntungkan rencana dan harapan Aminuddin. Mendengar perkataan si dukun bahwa Aminuddin akan mengalami nasib buruk jika kawin dengan Mariamin. Ibu Aminuddin tidak dapat berbuat apa-apa selain menerima apa yang menurut suaminya baik bagi kehidupan anaknya.

Kedua orang tua Aminuddin akhirnya meminang seorang gadis keluarga kaya yang menurut Baginda Diatas sederajat dengan kebangsawanan dan kekayaannya. Aminuddin yang berada di Medan, sama sekali tidak mengetahui apa yang telah dilakukan orang tuanya. Dengan penuh harapan, ia tetap menanti kedatangan ayahnya yang akan membawa Mariamin.

Selepas peminangan itu, ayah Aminuddin mengirim telegram kepada anaknya bahwa calon istrinya akan segera dibawa ke Medan. Ia juga meminta agar Aminuddin menjemputnya di stasiun. 

Betapa sukacita Aminuddin setelah membaca telegram ayahnya. Ia pun segera mempersiapkan segala sesuatunya. Ia membayangkan pula kerinduannya pada Mariamin akan segera terobati.

Namun, apa yang terjadi kemudian hanyalah kekecewaan. Ternyata, ayahnya bukan membawa pujaan hatinya, melainkan seorang gadis yang bernama Siregar. Sungguhpun begitu, sebagai seorang anak, ia harus patuh pada orang tua dan adat negerinya. Aminuddin tidak dapat berbuat apa-apa selain menerima gadis yang dibawa ayahnya. 

Perkawinan pun berlangsung dengan keterpaksaan yang mendalam pada diri Aminuddin. Berat hati pula ia mengabarkannya pada Mariamin. Bagi Mariamin, berita itu tentu saja sangat memukul jiwanya. Harapannya musnah sudah. Ia pingsan dan jatuh sakit sampai beberapa lama. Tak terlukiskan kekecewaan hati gadis itu.

Setahun setelah peristiwa itu, atas kehendak Ibunya, Mariamin terpaksa menerima lamaran Kasibun, seorang lelaki yang sebenarnya tidak diketahui asal-usulnya. Ibunya hanya tahu, bahwa Kasibun seorang kerani yang bekerja di Medan. Menurut pengakuan lelaki itu, ia belum beristri. Dengan harapan dapat mengurangi penderitaan ibu-anak itu, ibu Mariamin terpaksa menjodohkan anaknya dengan Kasibun. Belakangan diketahui bahwa lelaki itu baru saja menceraikan istrinya hanya karena akan mengawini Mariamin. 

Kasibun kemudian membawa Mariamin ke Medan. Namun rupanya, penderitaan wanita itu belum juga berakhir. Suaminya ternyata mengidap penyakit berbahaya yang dapat menular bila keduanya melakukan hubungan suami-istri. Inilah sebabnya, Mariamin selalu menghindar jika suaminya ingin berhubungan intim dengannya. Akibatnya, pertengkaran demi pertengkaran dalam kehidupan rumah tangga itu tak dapat dihindarkan. Hal yang dirasakan Mariamin bukan kebahagiaan, melainkan penderitaan berkepanjangan. Tak segan-segan Kasibun menyiksanya dengan kejam.

Dalam suasana kehidupan rumah tangga yang demikian itu, secara kebetulan, Aminuddin datang bertandang. Sebagaimana lazimnya kedatangan tamu, Mariamin menerimanya dengan senang hati, tanpa prasangka apa pun. Namun, bagi Kasibun, kedatangan Aminuddin itu makin mengobarkan rasa cemburu dan amarahnya. Tanpa belas kasihan, ia menyiksa istrinya sejadi-jadinya.

Tak kuasa menerima perlakuan kejam Kasibun, Mariamin akhirnya mengadu dan melaporkan tindakan suaminya kepada polisi. Polisi kemudian memutuskan bahwa Kasibun harus membayar denda dan sekaligus memutuskan hubungan tali perkawinan dengan Mariamin.

Janda Mariamin akhirnya terpaksa kembali ke Sipirok, kampong halamannya. Tidak lama kemudian, penderitaan yang silih berganti menimpa wanita itu, sempurna sudah dengan kematiannya. 

“Azab dan sengsara dunia ini telah tinggal di atas bumi, berkubur dengan jasad yang kasar itu.” 


Judul : Azab dan Sengsara
Pengarang : Merari Siregar
Lahir : Sipirok-Sumut, 13.07.1896
Wafat : Kalianget,Madura-Jatim, 23 April 1941

 

Riwayat Pengarang : 

Merari Siregar (lahir di Sipirok, Sumatera Utara pada 13 Juli 1896 dan wafat di Kalianget, Madura, Jawa Timur pada 23 April 1941) adalah sastrawan Indonesia angkatan Balai Pustaka.
Setelah lulus sekolah Merari Siregar bekerja sebagai guru bantu di Medan. Kemudian dia pindah ke Jakarta dan bekerja di Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo). Terakhir pengarang ini pindah ke Kalianget, Madura, tempat ia bekerja di Opium end Zouregie sampai akhir hayatnya.

Karya :

* Azab dan Sengsara. Jakarta: Balai Pustaka. Cet. 1 tahun 1920,Cet.4 1965.
* Binasa Karena Gadis Priangan. Jakarta: Balai Pustaka 1931.
* Cerita tentang Busuk dan Wanginya Kota Betawi. Jakarta: Balai Pustaka 1924.
* Cinta dan Hawa Nafsu. Jakarta: t.th.

Saduran : 

* Si Jamin dan si Johan. Jakarta: Balai Pustaka 1918.

No comments:

Post a Comment