043. Dian Yang Tak Kunjung Padam - Sutan Takdir Alisjahbana


One day Yasin, a young hick, poor, and orphaned by chance met eyes with a beautiful young woman, young nobleman Palembang when the girl was to take it easy in the foyer luxury homes near the river. The beautiful which was named Molek it, apparently equally due to fall in love first sight. But unfortunately their love, hard to get married, because the two are very much difference in rank.

Both are aware of the fact that difference, but their love is always turbulent do not care about all that. Their love held by post-mailing. Everything miss them grow in love of paper.

But even so, Yasin, apparently did not hold as well, he wanted to apply for a manly Molek. The intention was to tell him all relatives nearby. Family Yasin then negotiate to carry out the intent Yasin. Then with all the courage and simplicity, their families came also apply Molek. Because they are from the hicks and poor, even though the state of their clothes had congenital made good and their applications have also provided with a vengeance, with their applications rejected the parents Molek. In fact, by both parents Molek, Yasin family gets enough innuendo insult. Then the group returned to the village bumpkin with a myriad of shame and disgust.

Shortly thereafter, Molek proposed by Syed Mustafa, a renowned Arab descent Palembang as a successful trader. While Sayid is already rather old, but well received by parents Molek. Of course, the fact it is destroying the heart Yasin. Slightest Molek not like Sayid.

The marriage did not bring happiness to the Molek, as well as he does not love Sayid, Sayid was actually married to Molek only because of her father's wealth alone. Sayid treatment against her is not good enough. All sorts of turmoil Molek the liver, ranging from sadness, loneliness and longing to Yasin was always reported to Yasin through the mail. Because Yasin did not have the heart to see and hear that his lover was not happy and at the same longing that was about to meet with the turbulent Molek, Yasin tried to meet Molek in Palembang disguised as a merchant pineapple. His efforts were successful. He was able to meet with the Molek. And that's apparently their last meeting, because apparently the Molek were not able to withstand the pain and loneliness and longing same turmoil Yasin was later died.

Yasin himself after his lover died, returned to his village, and after his mother died, Yasin choose to live on the slopes Semenung seclusion until his death.



Suatu hari Yasin, seorang pemuda udik, miskin, serta yatim secara kebetulan bertemu pandang dengan seorang pemudi cantik, anak bangsawan Palembang ketika gadis itu sedang santai-santai  diserambi rumah yang mewah dekat sungai itu. Si cantik yang ternyata bernama Molek itu, rupanya sama-sama jatuh cinta  akibat pandangan pertama. Namun sayang cinta kasih mereka, sulit untuk sampai kepelaminan, sebab antara keduanya  sangat jauh  perbedaan derajatnya.

Keduanya sama-sama menyadari akan kenyataan perbedaan itu, namun cinta kasih mereka yang selalu bergolak itu tak peduli dengan semua itu. Cinta mereka dilangsungkan lewat kirim-kirim surat. Segala rindu mereka tumbuh dalam kertas cinta.

Tapi walaupun begitu, Yasin, rupanya tak tahan juga, dia hendak melamar Molek secara jantan. Niatnya itu dia beritahu kepada seluruh sanak famili dekatnya. Keluarga  Yasin kemudian berembuk untuk melaksanakan  niat Yasin tersebut. Lalu dengan segala keberanian  dan kesederhanaan mereka, keluarga Yasin datang juga melamar Molek. Karena mereka dari udik dan miskin, walaupun keadaan pakaian mereka sudah dibagus-baguskan  dan bawaan lamaran mereka juga sudah diada-adai dengan sekuat tenaga, lamaran mereka ditolak mentah-mentah kedua orangtua si Molek. Malah oleh kedua orang tua Molek, keluarga Yasin cukup mendapat  sindiran hinaan.  Maka pulanglah  rombongan udik ini ke kampungnya dengan membawa segudang rasa malu dan kesal.

Tak lama  kemudian, Molek dilamar oleh Sayid Mustafa, seorang keturunan Arab yang terkenal di Palembang sebagai seorang pedagang yang sukses. Walaupun Sayid ini sudah agak berumur, namun diterima juga oleh orang tua Molek. Tentu saja kenyataan itu sangat  menghancurkan hati Yasin. Sedikitpun Molek tidak menyukai Sayid.

Perkawinan itu tidak membawa  kebahagiaan bagi si Molek, sebab disamping dia tidak mencintai Sayid, Sayid sendiri sebenarnya  menikahi si Molek  hanya karena kekayaan ayahnya saja. Perlakuan Sayid  terhadapnya juga kurang baik. Segala macam kegalauan  hati si Molek, mulai dari kesedihan, kerinduannya terhadap Yasin serta kesepiannya itu selalu dilaporkan kepada Yasin lewat surat. Karena Yasin tidak tega melihat dan mendengar kekasih hatinya yang tidak bahagia itu dan sekaligus rasa rindu yang bergejolak  hendak bertemu dengan si Molek, Yasin mencoba menemui Molek di Palembang dengan menyamar sebagai seorang pedagang nanas. Usahanya itu berhasil. Dia berhasil bertemu  dengan si Molek. Dan itulah rupanya pertemuan terakhir mereka, sebab rupanya si Molek yang tidak mampu menahan rasa sakit hati dan kesepian serta gejolak rindunya sama Yasin itu kemudian meninggal dunia.

Yasin sendiri setelah kekasihnya  meninggal, kembali ke desanya, dan setelah ibunya meninggal, Yasin memilih hidup menyepi di lereng gunung Semenung hingga akhir hayatnya.



   
Judul : Dian Yang Tak Kunjung Padam
Pengarang : Sutan Takdir Alisjahbana
Lahir : Natal, Sumut, 11 Feb 1908
Wafat : 17 Agustus 1994







Riwayat Pengarang : 
 
Sutan Takdir Alisjahbana (STA) menamatkan HKS di Bandung (1928), meraih Mr. dari Sekolah Tinggi di Jakarta (1942), dan menerima Dr. Honoris Causa dari UI (1979) dan Universiti Sains, Penang, Malaysia (1987). Diberi nama Takdir karena jari tangannya hanya ada 4. 
  • Pernah menjadi redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka (1930-1933), kemudian mendirikan dan memimpin majalah Pujangga Baru (1933-1942 dan 1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952), dan Konfrontasi (1954-1962). Pernah menjadi guru HKS di Palembang (1928-1929), dosen Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di UI (1946-1948), guru besar Bahasa Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di Universitas Nasional, Jakarta (1950-1958), guru besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas Andalas, Padang (1956-1958), dan guru besar & Ketua Departemen Studi Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1963-1968).

No comments:

Post a Comment