110. The Legenda of Senua Island - Legenda Pulau Senua - Kepulauan Riau


In ancient times, in the Natuna Island, there lived a married couple who are poor. They live from day to day never improved. All the work they seek can never be enough to simply improve the lot. In fact, for everyday meals more frequently alone is not enough. Until one day, the husband called Baitusen heard stories about Bunguran island rich in marine outcome. So, do not delay the time to linger Leave Baitusen and Mai Lamah, beloved wife to the island.


Arriving on the Bunguran island, Baitusen worked as a fisherman collecting shellfish such as the work of others. While his wife, Mai Lamah, helped pave seashell jewelry to be sold as an ingredient. Long after their stay on the Bunguran island, Baitusen life and his wife began to improve. They live happily. Not only that, the Bunguran island upholds the values ​​of brotherhood and helpful without any strings attached. It was also likely to make at home Baitusen stay there.


Baitusen happiness and Mai Lamah progressively during from pregnancy. Baitusen so know concerning pregnancy intensifies his wife worked. The result now not only catch shellfish. Baitusen began searching for sea cucumber and other marine products. Price of dried sea cucumber in Chinese mainland are very expensive. With all my might, empowering Baitusen anything for the benefit of his family. He did not want his life was hard as she ever had before.


Persistence Baitusen work to fruition. His name is increasingly popular among Chinese buyers dried sea cucumber traders. No need to wait long, since a sea cucumber fishermen Baitusen become the richest and most respected in the village.


Presumably, wealth and luxurious life has blinded eyes to Mai Lamah. Mai Lamah has become haughty rich lady complete with styling that seems to show her arrogance. Mai Lamah delirious. The glare of property has changed behavior. Often she said the rough and hurting neighbors, plus its a very mean and do not care to trouble neighbors. Reprimand after reprimand from her husband never ignored.


The neighbors began to move away from family Baitusen slowly. They began by refusing to greet Mai Lamah, but Mai Lamah actually feel lucky.


"That's good again sorts. Not many troublesome kid lives, my husband, "the greeting Mai Lamah to her husband one day.


Baitusen try counseling. But, just anger Baitusen obtained from Mai Lamah. Mai Lamah could no longer go for advice.


Days went by so fast, do not feel it's time for Mai Lamah to give birth. Baitusen the panic heard moans from the pain of his wife, for help on a regular village midwife helping people. However, because the hurt will remark Mai Lamah ever insulted her, making the TBA was not willing to help Mai Lamah. His heart is already too wounded by words Baitusen wife.


It has been a village surrounded Baitusen to seek help for her, but none were willing to help. No other way. Baitusen not bear to see his wife endure the pain longer.


"Well we all TBAs across the island there alone, brother." Baitusen trying to persuade his wife, "Abang heard near there anyone can help. Well we hurry."


Mai Lamah who had no other choice finally agreed. "But, do not forget to bring also all of our gold, Bang." Baitusen forced to think and come back to take the gold and put it into the boat that would take them across.


Baitusen rowing boat with a vengeance in order to arrive at the island across more quickly. However, no matter how hard Baitusen paddling, the boat still can not move faster. Tidal waves slow boat. Plus crates of gold weigh boat.


Getting to the center, the more rocking boat engulfed in a wave currents. Baitusen desperately paddled until exhausted all his strength. More water into the boat. Mai Lamah screamed in terror. At the other end, great surf boat waiting to devour them. With one sweep, terobang boats bobbing up then overturned and sank.


Baitusen's body and Mai Lamah drifting waves and washed ashore Bunguran Island East. Heavy rain and strong winds combined with the lightning did not stop. Lightning and wind shouted to each other as a married couple welcomed the arrival of lying on the beach. Mai Lamah the two entities by lightning many times to turn his body into stone.


Over time, an embodiment of rock Mai Lamah body grows older and become an island called Senua Island. The gold jewelry while Mai Lamah transformed into Bunguran Island.




Pada zaman dahulu, di Pulau Natuna, hiduplah sepasang suami istri yang miskin. Hidup mereka dari hari ke hari tak pernah membaik. Semua pekerjaan yang mereka upayakan tak pernah bisa cukup untuk sekedar memperbaiki nasib. Bahkan, untuk makan sehari-hari saja lebih sering tak cukup. Hingga suatu hari, sang suami yang bernama Baitusen mendengar cerita tentang Pulau Bunguran yang kaya akan hasil lautnya.


Maka, tak menunda waktu berlama-lama berangkatlah Baitusen dan Mai Lamah, istri yang dicintainya ke pulau tersebut.


Sesampai di Pulau Bunguran, Baitusen bekerja sebagai nelayan pengumpul siput dan kerang seperti pekerjaan penduduk lainnya. Sedangkan istrinya, Mai Lamah, membantu membuka kulit kerang untuk dijual sebagai bahan perhiasan. Lama berselang setelah mereka tinggal di Pulau Bunguran, kehidupan Baitusen dan istrinya mulai membaik. Mereka hidup berbahagia. Tak hanya itu, penduduk Pulau Bunguran sangat menjunjung tinggi nilai persaudaraan dan suka menolong tanpa pamrih apapun. Itu jugalah yang membuat Baitusen kerasan tinggal di sana.


Kebahagiaan Baitusen dan Mai Lamah makin bertambah ketika Mai Lamah mulai mengandung. Baitusen yang begitu tahu perihal kehamilan istrinya semakin giat bekerja. Hasil tangkapannya sekarang bukan hanya kerang. Baitusen mulai mencari teripang dan hasil laut lainnya. Harga teripang kering di daratan Cina sangat mahal. Dengan sekuat tenaga, Baitusen mengupayakan apa saja demi kesejahteraan keluarganya. Dia tidak ingin anaknya hidup susah seperti yang pernah dia alami sebelumnya.


Kegigihan Baitusen bekerja membuahkan hasil. Namanya semakin terkenal di antara para pedagang Cina pembeli teripang kering. Tak perlu menunggu lama, sejak menjadi nelayan penangkap teripang Baitusen menjadi orang terkaya dan terpandang di kampungnya.


Agaknya, kekayaan dan hidup mewah telah membutakan mata hati Mai Lamah. Mai Lamah telah menjadi nyonya kaya yang tinggi hati lengkap dengan dandanan yang seakan-akan menunjukkan kesombongannya. Mai Lamah lupa daratan. Silaunya harta telah merubah perangainya. Acap dia berkata kasar dan menyakiti hati tetangganya, ditambah lagi sifatnya yang sangat kikir dan tak peduli pada kesusahan tetangga. Teguran demi teguran dari suaminya tak pernah dihiraukan.


Para tetangga mulai menjauh dari keluarga Baitusen perlahan-lahan. Mereka mulai enggan untuk menyapa Mai Lamah, tetapi Mai Lamah justru merasa beruntung.


”Baguslah lagi macam. Tak banyak yang nak menyusahkan hidup kita, Bang,” begitu ucapan Mai Lamah pada suaminya suatu hari. Baitusen coba menasehati. Tapi, yang didapat Baitusen hanya kemarahan dari Mai Lamah. Mai Lamah tak bisa lagi masuk nasihat.


Hari berlalu begitu cepat hingga tak terasa tibalah waktunya bagi Mai Lamah untuk melahirkan. Baitusen yang panik mendengar erangan sakit dari istrinya, mencari pertolongan pada dukun beranak kampung yang biasa menolong orang-orang. Akan tetapi, karena rasa sakit hati akan ucapan Mai Lamah yang pernah menghina dirinya, membuat dukun beranak tadi tak sudi menolong Mai Lamah. Hatinya terlanjur terlalu luka oleh perkataan istri Baitusen.


Telah satu kampung dikelilingi Baitusen untuk mencari pertolongan bagi istrinya, tetapi tak satu pun yang sudi menolong. Tak ada jalan lain. Baitusen tak tega melihat istrinya menanggung rasa sakit semakin lama.


“Baik kita ke dukun beranak di seberang pulau sana saja, Dik.” Baitusen mencoba membujuk istrinya, “Abang dengar dekat sana ada yang bisa membantu. Baik kita bergegas."


Mai Lamah yang tak punya pilihan lain akhirnya setuju. “Tapi, jangan lupa bawa juga semua emas kita, Bang.” Baitusen terpaksa menurut dan kembali lagi untuk mengambil emas dan memasukkannya ke perahu yang akan membawa mereka ke seberang.


Baitusen mendayung perahu dengan sekuat tenaga agar tiba di pulau seberang lebih cepat. Namun, sekuat apa pun Baitusen mengayuh, perahunya tetap saja tak bisa bergerak lebih cepat. Gelombang pasang memperlambat laju perahu. Ditambah lagi berpeti-peti emas yang memberati kapal.


Semakin ke tengah, perahu makin berguncang diamuk arus gelombang. Setengah mati Baitusen mendayung hingga habis seluruh tenaganya. Air semakin banyak masuk ke dalam perahu. Mai Lamah menjerit ketakutan. Di ujung sana, ombak besar menunggu untuk melahap perahu mereka. Dengan sekali sapuan, perahu terobang-ambing hingga kemudian terbalik dan tenggelam. Karam.


Tubuh Baitusen dan Mai Lamah hanyut terbawa gelombang air laut dan terdampar di pantai Pulau Bunguran Timur. Hujan deras dan angin kencang berpadu dengan kilat tak berhenti. Petir dan tiupan angin seolah saling bersahutan menyambut kedatangan sepasang suami istri yang terkapar di bibir pantai. Mai Lamah yang berbadan dua tersambar petir berkali-kali hingga mengubah tubuhnya menjadi batu. Semakin lama, batu jelmaan tubuh Mai Lamah semakin membesar dan menjadi sebuah pulau yang dinamakan Pulau Senua. Sedangkan perhiasan emas yang dikenakan Mai Lamah berubah menjadi Pulau Bunguran.

No comments:

Post a Comment